Minggu, 29 April 2018

Cyber Attack (Juga) Mengincar Perusahaan Pelayaran

Banyak orang tidak mempercayai industri pelayaran rentan terhadap risiko cyber, tapi dengan fakta 90% perdagangan dunia melalui laut, maka industri pelayaran merupakan salah satu target utama serangan cyber.

Dampak risiko cyber sering diremehkan padahal skala kerugian yang ditimbulkan dari serangan cyber cukup luas, termasuk kerusakan fisik properti, cidera tubuh & kerugian reputasi, juga kerugian yang lebih nyata seperti kehilangan data & interupsi bisnis.

Risiko serangan cyber sudah ada sejak ada komputer tetapi tumbuh di akhir abad ke-20 dengan maraknya tehnologi internet dan meluasnya penggunaan jaringan komputer.

Sekarang, kapal yang baru dibangun disertai dengan perangkat lunak untuk menjalankan mesinnya, yang akan updated dari jauh. Sistem cargo yang kompleks juha dikelola secara digital, bahkan crane dioperasikan berdasarkan sistem GPS. Tehnologi infornasi juga digunakan secara luas di sistem navigasi maritim.

Tabahan, semua kapal penumpang atau cargo lebih dari 500GT, dan kapal lebih dari 300GT jika digunakan dalam perdagangan internasional, diharuskan oleh IMO untuk dipasang Automatic Identification System (AIS).

Asuransi mengakui bahwa ancaman ada, tetapi tidak memahaminya. Praktis, asuransi/reas mengecualikan kerugian yang disebabkan oleh serangan cyber dari polisnya & umumnya polis marine insurance, liability dan properti, tidak menjamin risiko cyber.

Lebih spesifik, polis asuransi marine hull mengecualikan jaminan serangan cyber atau kerugian akibat perbuatan jahat orang lain yang melibatkan penggunaan (sistem) komputer atau rusaknya sistem atau fisik peralatan navigasi karena serangan cyber.

Canggihnya serangan cyber tidak seperti pembajakan di masa moderen yang menduduki kapal dengan senjata, tetapi cukup satu orang yang duduk di depan komputer yang dapat mematikan jaringan & rute pelayaran.

Hasil survey "The Fairplay Maritime Cyber Security Survey 2017", yang dilakukan oleh IHS Fairplay, bekerja sama dengan BIMCO & disponsori oleh “Be Cyber Aware At Sea Campaign” menunjukkan bahwa hanya 11.7% serangan yang dilaporkan ke asuransi & hanya 3.3% responden yang menyatakan kerugian tersebut diasuransikan. Dari klaim2 tersebut tidak ada yang dibayar asuransi HM, dan kurang dari 1% diasuransikan ke PNI tapi hanya 1.9% yang memiliki polis spesifik yang menjamin kerugian.

Contoh nyata kerugian yang belum lama ini terjadi adalah serangan cyber terhadap salah satu perusahaan pelayaran terbesar di dunia asal Denmark, A.P. Moeller-Maersk, pada tanggal 27 Juni 2017. Serangan virus yang diberi nama Petya saat itu sempat berdampak pada 17 terminal yang dioperatori oleh anak usaha Maersk di pelabuhan AS, India, Spanyol & Belanda.

Pakar masalah serangan cyber dari perusahaan keamanan Denmark menyebutkan serangan cyber terhadap A.P. Moller-Maersk berpotensi mempengaruhi pesanan muatan 82.500 TEU's yang bernilai sekitar USD 67.5 juta. Bagaimana kelanjutan proses klaimnya memang tidak diketahui hingga saat ini.

Bagi yang concern dengan proteksi atas serangan cyber, di market sekarang tersedia jaminan atas cyber attack yang dilekatkan dalam polis asuransi marine, yaitu "Institute Cyber Attack Exclusion Clause (CL380)" & diterbitkan oleh "Institute of London Underwriters (ILU)" pada bulan November 2003.


(Gambar pinjam dari google)





Fraud in Marine Insurance - Kasus "SALEM" (The 'TITANIC' of Maritime Fraud)

Klaim2 penipuan bukan hal yang aneh dalam industri marine insurance.

Salah satu metode yang sering dilakukan & dulu terbilang mudah adalah, jika tertanggung dengan sengaja menenggelamkan kapalnya (istilah di dunia asuransi "scuttling") di tengah laut, maka diharapkan semua bukti fisik insiden akan hilang di dasar laut.

Terkait hal ini, di dunia maritim pernah terjadi penipuan kelas berat yang menyebabkan kerugian masif tidak hanya bagi perusahaan asuransi, tapi juga pemilik barang, yang dikenal dengan kasus "SALEM", diambil dari nama kapal supertanker yang ditenggelamkan pada tahun 1980 di laut Atlantik.

Di masanya, klaim dari Shell International Petroleum Co Ltd, sebagai pemilik barang, merupakan yang terbesar yang pernah diajukan ke Lloyd's London, angka yang terungkap lebih dari USD 56 juta (terdiri atas 69 sindikat & 29 perusahaan).

Karena dampak kerugiannya & jalan ceritanya yang cukup kompleks, kasus ini diberikan predikat sebagai "The World's Largest Maritime Fraud in The 20th Century" oleh Guiness Book of World Record.

Bahkan oleh Hakim Bue, kasus ini digambarkan sebagai "one of the longest, one of the most complex, and one of the most protracted in terms of evidence , arguments and presentations in which I have participated".

Singkat cerita, peristiwa ini bermula ketika Frederick Ed Soudan, dalang dari peristiwa ini, mengajukan pinjaman dari Merca Bank Ltd untuk membeli kapal "SOUTH SUN" yang kemudian diganti namanya menjadi "SALEM". Kapal ini lalu dicharterkan ke perusahaan minyak Italia, Pontoil SA yang kemudian menggunakannya untuk mengangkut minyak yang dibeli dari perusahaan Kuwait Oil Co (Shipper) pada tanggal 27 Desember 1979 & berlayar ke Genoa, Italia. Sehari setelah berlayar, minyak yang dimuat di atas kapal "SALEM" dijual ke Shell dengan nilai USD 56 juta itu tidak dikirim ke Genoa tapi menyimpang ke Durban, Afrika Selatan.

Sebelum tiba di pelabuhan Durban, kapal diganti namanya menjadi "LEMA". Setibanya di Single Buoy Mooring (SBM) Bluff, minyak dibongkar secara ilegal kecuali disisakan sedikit & kemudian tanki kapal diisi dengan ballast water. Kapal "LEMA" kemudian berlayar menuju laut Atlantik & ditenggelamkan di lepas pantai Senegal. Sekira 2 hari setelah kapal diklaim tenggelam, Frederick Soudan mengajukan klaim asuransi kapalnya ke penanggung di Lloyd's London, tapi karena banyak isu yang belum terjawab, Lloyd's meminta bantuan Scotland Yard untuk melakukan investigasi.

Meski akhirnya kasus ini terbongkar & dalang beserta aktor yang melibatkan banyak pihak ditangkap, tapi ironisnya Frederick Soudan yang pada tahun 1985 dihukum 35 tahun penjara berhasil kabur dari penjara federal dengan penjagaan keamanan minimum di Texas pada bulan Mei 1988.

(Dari berbagai sumber)






Minggu, 13 Agustus 2017

Optimisme General Average Pasca YAR 2016

Sudah menjadi praktek yang umum sekarang ini bagi kebanyakan orang untuk membagi ongkos atau biaya kelompoknya secara merata.

Misalnya, sekelompok orang terdiri atas 4 individu maksi bersama, maka mereka akan membagi tagihan makannya secara merata, yaitu ¼ untuk setiap orang.

Atau sekelompok orang yang pergi/pulang kerja membagi ongkos kendaraan yang mereka tumpangi.

Praktek yang disebut di atas terlihat mudah karena pembagiannya secara merata dan yang dibagi nilai kecil.

Tapi bagaimana jika nilainya besar dan salah satunya protes karena makan cuma sedikit atau jaraknya dekat.

Nah, York-Antwerp Rules di bidang pelayaran membahas mengenai pembagian ongkos dengan berbagai sikon yang menyertainya.

Misal ada kebakaran di salah satu ruang palka kapal dengan muatan di dalamnya. Ruang palka akan disiram air untuk memadamkan api & mencegah penyebaran api ke bagian kapal lainnya. Berhasil & api padam!

ABK telah menyelamatkan kapal dan muatan di ruang palka lainnya.

Apa kerugiannya? Kerusakan muatan di ruang palka yang terdapat apinya.

Lalu, siapa yang harus mengganti kerusakan atas muatan yang terbakar atau siapa yang berhak mendapatkan ganti rugi atas pengorbanannya dalam kasus ini?

Baik pihak kapal maupun kargo memiliki kontribusi penyelamatan yang bisa berdampak lebih jika tidak dilakukan. Dalam hal seperti ini sulit menentukan siapa yang harus membayar kontribusi paling besar.

Inilah tujuan dibuatnya YAR yang mengatur di antaranya, tidak semua pengorbanan atau pengeluaran dapat dikontribusi ke pihak2 terkait.

 
YAR 2016

Pada Sidang Umum Comite’ Maritime International (CMI) di New York tanggal 6 Mei 2016, YAR 2016 disetujui oleh 42 perwakilan negara yang hadir tanpa 1 pun yang kontra atau abstain.

YAR 2016 ini adalah kulminasi dari hasil kerja International Working Group CMI selama 3 tahun, yang terdiri atas perwakilan dari Average Adjuster, Shipowner, Underwriter & PNI.

YAR dibuat pertama kali pada tahun 1860an dan secara periodik direvisi setiap interval 20 - 25 tahun.

Sejak versi pertama kali diterbitkan pada tahun 1873, sebenarnya konsep GA sudah mendapat pertentangan, misalnya menurut perwakilan Lloyd’s menyebutnya sebagai:

“A nest of fraud and abuses, a lurking place for speculation and waste”

Namun demikian, pihak2 yang kerkeinginan agar konsep GA tetap dipraktekan, konsisten & rutin melakukan riset untuk perubahan yang dipandang perlu.

Riset yang dilakukan oleh Mr Matthew Marshall dari Institute of London Underwriters (ILU) pada saat konferenai IUMI di Tokyo tahun 1994, menunjukkan fakta bahwa 10% biaya general average adalah adjuster fee dan 10% komisi lainnya (hal yang sudah dihapuskan dalam konsep GA yamg terbaru.

Atau IUMI misalnya, yang berkepentingan atas praktek GA, menyatakan bahwa sistem GA meningkatkan ongkos kecelakaan rata2 10% s/d 30%

Salah satu perubahan penting lainnya adalah keterangan mengenai nilai obyek untuk mendukung kontribusi klaim GA harus diserahkan dalam waktu 12 bulan atau jika tidak maka adjuster diberikan kebebasan untuk menaksir nilainya.

Versi sebelumnya, YAR 2004, tidak mendapat dukungan dari kalangan shipowners karena, salah satunya, tidak lagi mengakomodir crew wages ketika kapal tertahan di port of refuge setelah dilakukan GA, dan karena revisi Rule VI mengenai salvage.


NASIB YAR 2016?

Berhasil atau tidaknya YAR 2016 tergantung penerimaannya di market secara luas. Salah satu indikasinya adalah, apakah YAR 2016 akan diterima oleh BIMCO sebagai perwakilan shipping owner terbesar dunia.

Jika BIMCO menerima YAR 2016 maka akan dilekatkan ke dalam bill of lading yang digunakan oleh anggota BIMCO di seluruh dunia, hal yang tidak terjadi pada YAR 2004.

(Diolah dari berbagai sumber)

Senin, 01 Mei 2017

Politisasi Pembebasan Sandera Pembajakan

Ini tulisan saya persis setahun yang lalu, sudah diposting di status fb....


Hari Minggu, 1 Mei 2016, di tengah hiruk pikuk demo Hari Buruh, ada kabar gembira yang disampaikan oleh Presiden Jokowi di Istana Bogor.

Presiden dalam jumpa persnya mengumumkan keberhasilan upaya pembebasan 10 WNI bekas ABK tugbot "BRAHMA 12" yang disandera oleh orang2 yang diduga terhubung ke Kelompok Abu Sayyaf.

(http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160501_indonesia_wni_sandera_bebsa)

Rupanya upaya pembebasan sandera tidak luput dari politisasi, khususnya dari mereka yang mengharapkan dapat mendulang "credit point" di depan publik, mungkin untuk kepentingan tertentu.

Entah siapa yang memulai tapi menurut pengamatan penulis, berita pertama yang menulis pihak yang mengklaim ikut berjasa adalah tautan di laman ini (1 Mei 2016 jam 20.08 WIB):

(http://m.metrotvnews.com/news/peristiwa/3NOY4Jpk-tim-kemanusiaan-surya-paloh-terlibat-dalam-pembebasan-wni)

Masih di tanggal yang sama 2 jam kemudian tautan laman berita ini menginformasikan bahwa ada peran seorang pensiunan TNI, Mayor Jenderal Kivlan Zein.

(https://m.tempo.co/read/news/2016/05/01/078767560/pembebasan-10-wni-dari-abu-sayyaf-dilakukan-lewat-negosiasi)

Kalo kita baca dengan jernih tautan laman itu & beberapa tautan lainnya, sebenarnya KZ ini tidak sedang mengklaim bahwa dirinya yang turut berkontribusi ikut membebaskan sandera tapi sedang menegaskan bahwa upaya pembebasan tidak dengan uang tebusan.

Tapi mungkin karena sisa2 pemilu yang lalu masih membekas, para pengikut kelompok oposisi pemerintah yang membaca berita salah satu kelompok yang berkoalisi dengan pemerintah mengklaim atas jasa mereka, buru2 merespon dengan menyatakan keterlibatan KZ sebagai pihak yang lebih berhak disebut berjasa.

Padahal KZ sendiri tidak mengklaim dirinya paling berperan tapi memang menyebutkan sedikit kronologis yang melibatkan dirinya.

Tapi yang jelas, peran KZ memang disebut oleh Kadiv Humas Polri, Brigjen Boy Rafli Amar.

(http://nasional.kompas.com/read/2016/05/02/19061771/Polri.Sebut.Ada.Peran.Kivlan.Zen.dalam.Pembebasan.10.WNI.)

Mengapa politisasi sandera pembajakan tidak muncul di kejadian yang sama ketika kapal berbendera Indonesia "SINAR KUDUS" dibajak oleh pembajak Somalia pada masa pemerintahan SBY?

Ya jelas gak ada warga sipil yang berani mengklaim ikut berjasa karena saat itu yang dilakukan adalah gabungan opsi militer dengan uang tebusan tetap diberikan ke pembajak (opsi ini menurut Menhan saat itu Purnomo Yusgiantoro diputuskan dalam Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden SBY).

Saat terjadi pembajakan kapal "SINAR KUDUS" pemerintah SBY bukan tidak luput dari kritik. Pemerintah SBY ketika itu juga dikritik karena dinilai bergerak lamban dalam mengupayakan pembebasan sandera, hal yang dibantah oleh Menhan Purnomo Yusgiantoro saat itu.

(https://m.tempo.co/read/news/2011/05/16/078334808/eksklusif-pemerintah-lamban-bebaskan-sinar-kudus)

Dalam menyikapi aksi pembajakan ini kedua pemerintahan memang terkesan tertutup tapi karena punya alasan yang berbeda.

Dalam kasus pembajakan kapal "SINAR KUDUS" pemerintah memang harus tertutup karena yang (akan) dilakukan ada unsur aksi militer setelah mendapatkan ijin dari Dubes Somalia di Indonesia, Mahmud Olow Barow, pada tanggal 13 April 2015.

Sedangkan dalam kasus pembajakan oleh terduga Kelompok Abu Sayyaf pemerintah terkesan tertutup karena menyangkut isu yang sangat sensitif, yaitu dengan membayar uang tebusan, jika benar, ke organisasi yang dicap sebagai teroris dunia, maka Indonesia akan dituduh membiayai  atau mendanai teroris.

Kembali ke pihak-pihak yang mengklaim berperan dalam upaya pembebasan, lalu siapa yang benar?

Jawabannya tidak ada yang benar bagi pihak sini kalo itu mengutungkan pihak sana.

#viceversa

Kamis, 23 Maret 2017

Sisi Kelam Praktek Asuransi Marine

Pada bulan Maret 2000 silam, salah satu perusahaan asuransi terbesar di Amerika Serikat, AETNA secara resmi meminta maaf atas keterlibatannya dalam praktek asuransi perbudakan 150 tahun yang lalu.

Dalam hal ini, praktek yang berlangsung di AS ketika itu adalah mengasuransikan hidup budak untuk kepentingan majikannya selama bekerja sebagai buruh di pabrik tembakau di New Orleans bagian selatan.

(Catatan: ada juga data lain yang menyatakan bahwa AETNA mengasuransikan budak sebagai ‘goods’ dalam pelayaran)

Tindakan meminta maaf ini bukan dilakukan tiba2 tapi karena sebelumnya, di tahun yang sama di California, diberlakukan “Slavery Era Insurance Policies Bill” atau UU yang mengharuskan perusahaan asuransi yang beroperasi di negara bagian tersebut untuk membuka arsip polis perbudakan mereka.

Karena bisnis 'marine insurance' berkembang pesat di Inggris, ada baiknya kita mengetahui sedikit sejarah yang terjadi di Inggris.

Pada mulanya, di daratan Eropa, asuransi atas jiwa manusia dilarang, kecuali di Inggris, karena alasan yang disebut oleh Geoffrey Clark, tidak berlakunya diktum Hukum Romawi yang menyatakan hidup seseorang tidak dapat dinilai atau “hominis liberi nulla estimatio”.

Menurut salah satu prinsip asuransi yang kemudian berkembang luas, “insurable interest”, seseorang dapat mengasuransikan jiwa orang lain selama mereka dapat membuktikan adanya hubungan finansial. Prinsip ini untuk mengatasi perjudian yang sering muncul dalam penutupan atau klaim asuransi.

Tetapi sebenarnya terdapat celah dari aturan yang berlaku di Eropa, yaitu Artikel 10 dari “Ordonnance de la Marine” yang disusun oleh Colbert, salah satu menterinya Raja Louis, pada tahun 1681:

“Insurance upon the life of persons other than slaves is forbidden (Défendons de faire assurance sur la vie des personnes)”

Oleh karenanya, perbudakan pernah erat hubungannya dengan & pernah jadi sisi kelam asuransi, terutama “marine cargo insurance” (asuransi pengangkutan barang) atau dikenal juga dengan istilah “goods in transit”.

Kenapa “marine cargo insurance”?

Karena pada masa kelam tersebut, budak pernah dianggap sebagai barang sehingga dipersamakan dengan muatan (cargo) di atas kapal.

Mengenai sisi kelam ini, ada satu kasus klaim yang terkenal hingga ke pengadilan di Inggris dengan budak sebagai obyek pertanggungan cargo di atas kapal.

Kasus ini terkenal dengan nama “Zong Massacre” (Gregson v. Gilbert).

Kapal “ZONG” milik James Gregson yang dinahkodai oleh Luke Collingwood berangkat dari pantai barat Afrika pada tanggal 6 September 1781 dengan membawa 442 (catatan lain menulis 420) budak menuju Karibia.

Pada saat kapal melintasi lautan yang pada periode tertentu minim angin di Laut Atlantik, atau dikenal dengan sebutan “Doldsdrum”, kapal terombang ambing & wabah penyakit menyebar di atas kapal, sehingga menewaskan 7 dari ABK serta 62 (catatan lain menulis 50) budak.

Seminggu berikutnya, Luke Collingwood memerintahkan untuk membuang/melempar 132 budak dan 10 budak berikutnya yang sakit dengan alasan untuk mencegah penyebaran penyakit. Catatan lain menyebut alasan Luke Collingwood karena terjadi “Act of Defiance”.

Luke Collingwood merasa, dengan melakukan pembuangan properti (budak) dari atas kapal untuk menyelamatkan pelayaran, dapat diganti oleh asuransi dengan apa yang disebut sebagai "jettison".

Setibanya di Jamaika, beberapa perusahaan jual beli budak di Liverpool yang diwakili oleh Gregson lalu mengajukan klaim ke asuransi namun ditolak & dibawa ke pengadilan oleh Gregson.

Awalnya klaim ini dimenangkan oleh Gregson di pengadilan rendah Jamaika pada tahun 1782, namun Gilbert naik banding ke pengadilan tinggi di Great Britain, dan menang.

Di Inggris, praktek perdagangan budak secara resmi dihentikan pada tahun 1807 oleh Parlemen, dengan ‘turning point' dari kasus “The Zong” meskipun tidak ada yang berubah dengan konsep hukum asuransinya.

Adapun kisah pengadilan kasus klaim asuransi budak yang dipimpin oleh Lord Mansfield diperagakan dalam film berjudul “Belle” yang dirilis di Inggris pada tanggal 13 Juni 2014.


(Dirangkum dari berbagai sumber)




Selasa, 14 Maret 2017

Peristiwa Kandasnya Kapal Pesiar "CALEDONIAN SKY" dan Rusaknya Terumbu Karang

Masih hangat di kalangan maritim, baik nasional maupun internasional, termasuk juga pengamat lingkungan, perihal kandasnya sebuah kapal pesiar berbendera Bahama “CALEDONIAN SKY” di perairan Raja Ampat, Papua Barat, pada tanggal 4 Maret 2017 yang lalu.

Yang menjadi concern pemerintah & pengamat lingkungan adalah kandasnya kapal pesiar ini merusak kurang lebih 13.500 m2 terumbu karang tepat di pusat keanekaragaman hayati terbesar di dunia.

Kapal pesiar “CALEDONIAN SKY” bernomor IMO 8802870 ini dimiliki & dioperasikan oleh operator wisata berbasis di Inggris, Noble Caledonia & saat itu sedang membawa 102 turis mancanegara usai acara di Waigeo.

Kapal pesiar ini sudah berhasil lepas dari kandas dengan bantuan tugboat & sudah melanjutkan perjalanan ke Filipina. Menurut informasi kapal hanya menderita kerusakan minor akibat kandas & tidak menganggu kelaiklautannya.

Muncul pertanyaan bagaimana konsekwensi atau akibat hukum dari kerusakan lingkungan alam yang sangat berharga bagi Indonesia tersebut?

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berkoordinasi untuk menggugat ganti rugi pemilik kapal “CALEDONIAN SKY” dengan membentuk tim gabungan dari lembaga terkait yang akan meneliti aspek perdata dan pidananya.

Sesuai dengan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusakan kekayaan alam seperti terumbu karang, dapat diancam hukuman pidana penjara.

Lembaga Research Center for Pacific Marine Resources merekomendasikan perusahaan pelayaran memberikan ganti rugi sebesar USD 800 - USD 1,200 per m2, dengan total kerugian mencapai kira2 USD 1,28 juta - USD 1.92 juta. Ini mungkin belum termasuk tuntutan hukum dari masyarakat setempat yang merasa dirugikan dengan rusaknya terumbu karang di wilayah mereka.

Dari aspek perdata, bagaimana melihatnya dari konteks asuransi, jika kebetulan pemilik kapal memiliki polis rangka kapal (Hull & Machinery) dan P&I, apakah ganti rugi yang timbul serta tanggung jawab pemilik kapal dapat dikompensasi dari polis asuransi?

1. Kerusakan Fisik Kapal

Hanya berdasarkan informasi yang tersebar, bahwa kapal hanya mengalami kerusakan minor akibat kandas & masih dapat melanjutkan pelayaran ke Filipina.

2. Biaya Pengapungan

Biaya yang dikeluarkan untuk mengapungkan kapal dari kandas dapat diklaim ke polis H&M, sepanjang dapat dibuktikan bahwa kandasnya bersifat “accidental” & kemungkinan besar sebagai klaim sue & labor, kecuali terbukti ada barang perdagangan yang dibawa kapal & ikut menikmati upaya penyelamatan.

3.Tanggung Jawab Hukum atas Kerusakan Terumbu Karang

Polis standar H&M tidak menjamin tanggung jawab yang muncul dari kerusakan terhadap “fixed and floating object”.

Terumbu karang sudah pasti bukan termasuk “floating object”, tapi di sisi lain, apakah termasuk dalam “fixed object”?

Sejatinya, perluasan risiko “Fixed and Floating Object (FFO)” memang bukan produk asuransi M&H, tapi produk P&I meski sering digunakan sebagai perluasan dalam polis standar M&H.

Jadi untuk mengetahui sejauh mana cakupan “fixed object” maka kita harus melihat lihat jaminan yang diberikan dalam Protection & Indemnity (P&I).

Polis dari salah satu perusahaan P&I terbesar di dunia, Standard Club, menjamin “liability” yang timbul dari kerusakan “coral reef” sebagai “damage to fixed object”.

Atau polis yang diterbitkan Gard, salah satu club P&I terbesar Eropa yang berbasis di Norwegia, menyebutkan bahwa yang termasuk “fixed object” adalah “coral reef”.

Jadi untuk tanggung jawab atas kerusakan terumbu karang kemungkinannya ada 2 cara:

(i) Diklaim berdasarkan polis P&I dimana FFO merupakan jaminan standar; atau

(ii) Diklaim dari polis H&M jika pemilik kapal membeli “FFO” untuk memperluas Klausula 8 “Collision Liability”.

Semoga bermanfaat.












Semoga bermanfaat.

Hugo Grotius versus Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja

Nama Hugo Grotius sudah tidak asing lagi bagi mereka yang mempelajari hukum internasional, karena Hugo Grotius atau Hugo de Groot dianggap oleh banyak kalangan sebagai Bapak Hukum Internasional.

Misalnya Hamilton Vreeland, seorang guru & pengacara di Amerika Serikat pada tahun 1917, yang menulis "Hugo Grotius: The Father of the Modern Science of International Law"

Bahkan hingga kini, The American Society of International Law terus menggelar acara tahunan Grotius Lecture dan The Peace Palace Library di Den Haag untuk menghormatinya.

Namun demikian jika melihat sisi lain seorang Grotius, ada juga yang berpendapat bahwa Grotius sebenarnya bukan pemikir hukum tapi tidak lebih hanya sebagai pengacara yang bekerja berdasarkan pesanan klien belaka.

Ini dibuktikan dari argumentasinya yang terkenal "Mare Liberum" (Laut Bebas).

Argumentasi tersebut disampaikannya pada saat ia bekerja sebagai pengacara untuk & disewa oleh VOC, untuk melawan justifikasi penguasaan dunia yang telah dilakukan lebih dulunoleh Portugal dengan argumentasi "Mare Clausum" (Laut Tertutup).

Menurut Grotius, bahwa laut seperti juga udara, bebas digunakan oleh umat untuk keperluan navigasi dan perikanan.

Sepintas, pemikiran Grotius ini adalah cerminan sikap liberal yang memihak pada kebebasan, namun pada kenyataannya Grotius adalah seorang yang mendukung perbudakan & penjajahan.

Penjajahan Belanda atas Indonesia (dulu Nusantara) juga tidak kurang atas kontribusi pemikiran Grotius.

Dampak jangka panjang argumentasi Grotius terhadap kedaulatan Indonesia adalah bahwa meskipun Indonesia sudah memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka tapi karena Laut Jawa masih dianggap sebagai perairan Internasional maka kapal2 Belanda masih tetap bebas berlalu lalang.

Pada akhirnya, menurut Arif Havas Oegroseno (Deputi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman RI), yang menghentikan "penjajahan" Grotius terhadap  kedaulatan di atas lautan Indonesia adalah Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, seorang ahli hukum internasional pertama yang dimiliki Indonesia.

Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi negara kepulauan Indonesia di depan Sidang Kabinet pada tanggal 13 Desember 1957 di kantor PM Djuanda.

Pengajuan konsepsi ini didorong oleh Chaerul Slaeh yang gusar atas lalu lalangnya kapal perang milik Belanda "DRENTE" di Laut Jawa.

Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja mendasarkan konsepsinya dari:

1. Hasil pertemuan pakar hukum internasional di International Law Commission tanggal 30 April 1949 s/d 4 Juli 1949, yang melarang lebar laut teritorial lenih dari 12 mil laut.

2. Keputusan Mahkamah Internasional dalam Sengketa Perikanan Inggris dan Norwegia tahun 1951, yang menegaskan bahwa negara2 dengan pantai menjorok atau dengan pulau2 kecil dapat menarik garis lurus dari titik terluar pantai.

3. Klaim unilateral Filipina pada tahun 1955 bahwa semua perairan di antara dan yang membentangkan pulau2 Filipina berada dalam kedaulatan Filipina.

Perjuangan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja ini akhirnya diterima oleh masyarakat dunia dan disahkan sebagai Konstitusi Kelautan Dunia pada Konvensi Hukum Laut Ke-III tanggal 10 Desember 1982 sehingga menciptakan Hukum Laut yang baru.

Ahhh....saya bangga jadi orang Indonesia!

Ahhh....saya kepingin jadi ahli hukum maritim (mimpi dulu, hehehe....)!



(Disarikan dari tulisan Arif Havas Oegroseno di Harian Pikiran Rakyat, 14 Maret 2017)